Sabtu, 29 Maret 2014

Berani Menulis itu Hebat!

Tulisan ini dimuat di Koran Harian Jawa Pos, Minggu 30 Maret 2014

Menulis bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Kendala dan hadangan sudah ada di hadapan seorang penulis pemula bila ia sudah ada di depan layar komputer. Bayangan akan nilai tulisannya berkualitas atau tidak sudah nangkring pada deretan pertama yang harus dihadapi sebelumnya. Belum lagi gejolak yang timbul dari dalam diri penulis sendiri berupa kesulitan mengeluarkan kata-kata yang ada dalam batok kepala. Bisa dibilang, menulis adalah pekerjaan melawan diri sendiri. Melawan nafsu dan keinginan yang lahir dari gelegak jiwa nan gelisah yang harus segera ditumpahkan. 

Meski kerap mengikuti workshop kepenulisan, selalu saja muncul kesulitan untuk mengawali sebuah tulisan. Entah ini dikarenakan belum terbiasa menumpahkan gagasan atau ide  yang tersembul keluar dari kepala, atau memang karena tidak atau belum terbiasa  melatih diri untuk menulis. Padahal,beragam buku soal panduan praktis menulis pun sudah banyak bertebaran dan tumpas dibaca, namun lagi-lagi kesulitan itu masih
mendera.

Dalam sebuah kata pengantar yang terdapat dalam buku Aku Menulis Maka Aku Ada karya KH. Zainal Arifin Thoha, Faisal Ismail menuturkan bahwa ketidaktahuan seorang penulis pemula akan berkualitasnya sebuah karya, memberi hikmah baginya untuk dipaksa menuangkan gagasannya tanpa didera dan dicekam rasa takut. Dengannya, penulis pemula bisa dengan bebas tanpa ikatan apapun menumpahkan segala perasaan yang bergejolak dalam dada.

Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Faisal Ismail dalam buku tersebut, Hernowo Hasyim bahkan lebih jelas menuturkan bahwa langkah pertama untuk menulis adalah memulai menulis dengan menggunakan perasaan. Pada tahap pertama ini, seorang penulis ibarat berdialog dengan dirinya sendiri. Sisi terdalam dari seorang penulis dikuak dan dibiarkan keluar menembus batas ruang dan waktu. Aturan prihal ilmiah tidaknya sebuah tulisan bukanlah menjadi patokan baku yang harus ditaati. Pada tahap inilah ruang privat tercipta dan dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan pada diri sendiri.

Di sisi lain, menulis juga membutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Tekanan kata-kata yang berusaha dikeluarkan sedikit banyak menguras pikiran penulis. Maka tak heran banyak penulis yang rela meringkuk dalam kesepian, sendirian berada dalam ruang yang ia ciptakan. Saking tingginya konsentrasi yang dibutuhkan, tak jarang untuk mengendorkan urat syarafnya, penulis saat memintal kata-katanya dibarengi dengan aktivitas merokok juga. Jadi, ada keterkaitan yang erat antara penulis dengan rokok yang dihisapnya.

Cobalah lihat bagaimana pengakuan salah seorang penulis kelahiran Konstantinopel Turki,Khalide Edib Adivar. Dalam autobiografinya ia berkata “Aku menulis dalam kesendirian dan kesepian. Aku menulis novel-novelku di sebuah tempat di mana tak ada orang di sekelilingku. Inilah kemudian yang membuatku menjadi tegang. Aku butuh kopi dan rokok untuk menenangkan diri.Tanpa rokok, aku tak bisa konsentrasi”.

Pengakuan blak-blakan feminis Turki tersebut dalam aktivitas menulisnya mengingatkanku akan tuturan Iman Budhi Santosa dalam sebuah karyanya Ngudud: Cara Orang Jawa Menikmati Hidup. Di dalamnya dijelaskan adanya keterkaitan kalangan sastrawan dan seniman dengan rokok yang menjadi teman kala ia bercengkerama dengan dunia yang hendak dibangunnya. Meskipun ada juga sebagian sastrawan, seniman dan penulis yang bukan perokok berat.

Iman Budhi Santosa juga menambahkan dalam buku tersebut bagaimana sastrawan Inggris Stephen Spender selalu ditemani sebungkus rokok saat aktivitas menulis dilakukannya. Spender bahkan menyatakan bahwa sastrawan merokok bukannya mengikuti mode, gaya hidup, atau sebagai kegiatan dalam jeda waktunya. Tapi, karena saat sastrawan itu berusaha menelorkan karyanya, ada tuntutan konsentrasi yang tinggi dalam proses kreatifnya.

Kesendirian, kesepian, serta konsentrasi tinggi adalah teman penulis saat ia berusaha merangkai kata. Mungkin karena itulah sangat sedikit orang yang mau menekuni jalan sunyi ini. Keberanian untuk berbicara pada diri sendiri kemudian menuliskannya dalam bentuk kata dan kalimat hingga menciptakan sebuah gambaran akan dunia yang ada dalam pikirannya, membuat penulis terkadang lupa dengan wadagnya sendiri.

Menulis adalah proses menguji keberanian diri untuk berkata jujur pada hati nurani. Disaat hati nurani dibungkam, di penjara dalam pojok-pojok kehidupan umat manusia, penulis berusaha untuk tetap teguh dan tegar menuliskan apa kata hati nurani tersebut meskipun nyawa harus menjadi taruhannya. Ada banyak penulis yang hidupnya diasingkan dari masyarakat hanya  gara-gara kalimatnya membuat penguasa meradang dan panas kuping. Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Pramoedya Ananta Toer, Ali ibn Muhammad Abu al-Wafa’ Ibn Aqil serta Ibn Rusyd adalah sederet nama dari korban akibat buku yang dituliskannya.

Jadi,jalan untuk menjadi penulis itu dipenuhi dengan onak dan duri. Melawan diri sendiri, butuh konsentrasi tinggi, menyuarakan hati nurani, tak jarang harusberujung dan bersua dengan kata “mati”. Namun, Chairil Anwar telah mewanti-wanti, sekali berarti setelah itu mati. Adakah yang lebih berarti selain jujur pada hati nurani?

Oleh : Muhammad Shofa
Dosen Luar Biasa Prodi Politik Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, bergiat di Bibliopolis Surabaya

0 komentar:

Posting Komentar